BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Budaya Demokrasi
Budaya berasal dari kata budi (akal) dan daya
(kemampuan) yang berarti kemampuan akal manusia. Sedangkan demokrasi berasal
dari demos dan kratos yang artinya rakyat dan pemerintahan.[1]
Jadi, budaya demokrasi adalah kemampuan manusia yang
berupa sikap dan kegiatan yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi seperti
menghargai persamaan, kebebasan, dan peraturan. Budaya demokrasi juga dapat
dikatakan sebagai
bentuk aplikasi atau penerapan nilai-nilai yang terkandung
dalam prinsip demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, tercerminlah
prinsip-prinsip demokrasi dalam budaya demokrasi.
Beberapa
pendapat lain mengenai arti kata demokrasi adalah:
1. Budaya Demokrasi, adalah pola pikir, pola sikap, dan pola
tindak warga masyarakat yang sejalan dengan nilai-nilai kemerdekaan, persamaan
dan persaudaraan antar manusia yang berintikan kerjasama, saling percaya,
menghargai keanekaragaman, toleransi, kesamaderajatan, dan kompromi.
2. International Commision of Jurist (ICJ), demokrasi
adalah suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat
keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh wn melalui wakil-wakil yg
dipilih oleh mereka dan bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses
pemilihan yg bebas.
3. Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
4. Giovanni Sartori, memandang demokrasi sebagai suatu sistem di
mana tak seorangpun dapat memilih dirinya sendiri, tak seorangpun dapat
menginvestasikan dia dgn kekuasaannya, kemudian tidak dapat juga untuk merebut
dari kekuasaan lain dengan cara-cara tak terbatas dan tanpa syarat.
5. Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila, demokrasi adalah
suatu pola pemerintahan dalam mana kekuasaan untuk memerintah berasal dari
mereka yang diperintah.
Demokrasi bukanlah suatu istilah yang asing. Demokrasi telah menjadi
wacana yang menarik, dikembangkan dengan
tujuan menampung aspirasi yang terdapat dalam masyarakat. Demokrasi memang
telah menjanjikan berbagai kehidupan yang baik dan penuh kemerdekaan. Dalam
negara demokrasi kepentingan rakyat sangat diperhatikan. Demokrasi dikembangkan
dengan tujuan menampung aspirasi yang terdapat dalam masyarakat dan melindungi
hak-hak rakyat dimana hal itu menjadi budaya yang bersifat universal.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa budaya demokrasi
bersumber dari suatu pola pikir sebagai berikut:
a.
Manusia diperlakukan dan
ditempatkan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan. Artinya
keinginan, aspirasi, dan pendapat individu harus dihargai.
b.
Salah satu hak asasi manusia
adalah kebebasan untuk memperoleh kebenaran, keadilan, dan kebahagiaan.
c.
Sesuatu yang diputuskan bersama
akan akan memiliki kadar ketepatan dan kebenaran yang lebih menjamin. Hal tersebut
terjadi karena keputusan yang dihasilkan akan berakibat terhadap dirinya.
d.
Didalam kehidupan bermasyarakat
pasti akan timbul permasalahan antarindividu sehingga perlu suatu cara untuk
mengatur bagaimana mengatasinya. Cara tersebut sangat di tentukan oleh paham
yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Bagaimana paham ini memandang
hubungan antara individu dan masyarakat, akan menetukan cara untuk mengatasi
masalah , pendapat, dan kepentingan.[2]
B. Prinsip-Prinsip Budaya Demokrasi
Budaya demokrasi
adalah budaya mengakui perbedaan (the others). Namun, budaya demokrasi
tidak sebatas itu. Demokrasi pun mengenal prinsip-prinsip budaya demokrasi.
Demokrasi menghargai prinsip good and clean governance. Demokrasi adalah
negara yang menjunjung prinsip HAM, transparansi, partisipasi, pluralitas, dan
egaliter.
Berikut adalah
prinsip-prinsip budaya demokrasi :
1. Hak Asasi Manusia (HAM). Budaya demokrasi tidak akan
hidup tanpa hak asasi manusia. HAM adalah filosofi dasar terbentuknya egara
demokrasi. Demokrasi adalah tool. Tujuan hakiki adalah kesejahteraan dan
kebebasan. Nilai tersebut termaktub pada HAM. Batas hak asasi manusia adalah
hak asasi orang lain. HAM tidak bebas utuh. Di sini, letak toleransi dan
tenggang rasa sebagai bagian dari budaya egar harus ega tumbuh.[3]
2. Transparansi. Prinsip demokrasi adalah egara yang
bekerja untuk egara. Maka, tidak perlu ada penutupan akses. Toh, egara
bayar pajak dan pemerintah mengeksploitasi sumber daya alam milik egara. Maka,
transparansi ibarat mahar yang harus diberikan. Transparansi dalam multi aspek.
Mulai dari egara, politik, budaya, dan ekonomi. Transparansi adalah hak
konstitusional warga egara.
3. Partisipasi. Publik ikut berpartisipasi dalam
demokrasi. Mulai dari kritik, saran, dan pujian. Partisipasi ini ega dilihat
dari egara Pemilu, legislator, dan sebagainya. Partisipasi adalah kunci
membangun demokrasi yang stabil karena tidak ada egara yang kuat tanpa
masyarakat kuat di belakang.
4. Pluralitas. Demokrasi tidak diikat oleh satu
persamaan, tetapi oleh ragam perbedaan. Demokrasi tumbuh subur dalam alam
multietnis, suku, dan agama. Demokrasi harus mengikat perbedaan ini ke dalam
egara yang fair dan toleran. Pengakuan pada the others mutlak
diberikan. Negara demokrasi tidak egara perhatian lebih pada satu etnis, suku,
dan agama tertentu. Treatment yang diberikan harus fair dan
setara.
5. Egaliter. Demokrasi bukan negara monarki, raja selalu
benar dan rakyat selalu salah. Demokrasi menghargai egaliter (sederajat). Semua
warga egara mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Konstitusi tidak pilih
kasih. Egaliter juga bermakna kesederajatan dalam berbangsa dan bernegara.
C. Sekolah Sebagai
Lembaga Demokrasi
1. Tujuan Pelaksanaan Demokrasi di Sekolah
Seperti sebuah negara, sekolah juga merupakan suatu
organisasi, layaknya masyarakat mini yang memiliki warga dan peraturan. Sekolah
merupakan sebuah organisasi, yakni unit sosial yang sengaja dibentuk oleh
beberapa orang yang satu sama lain berkoordinasi dalam melaksanakan tujuannya
untuk mencapai tujuan bersama. Tujuannya yaitu mendidik anak-anak dan
mengantarkan mereka menuju fase kedewasaan, agar mereka mandiri baik secara
psikologis, biologis, maupun sosial. Dalam pendidikan demokrasi menekankan pada
pengembangan ketrampilan intelektual, ketrampilan pribadi dan sosial. Dalam
dunia pendidikan haruslah ada tuntutan kepada sekolah untuk mentransfer
pengajaran yang bersifat akademis ke dalam realitas kehidupan yang luas di
masyarakat.
Demokrasi di sekolah dapat diartikan sebagai
pelaksanaan seluruh kegiatan di sekolah yang sesuai dengan nilai-nilai
demokrasi. Mekanisme berdemokrasi dalam politik tidak sepenuhnya sesuai dengan
mekanisme dalam kepemimpinan lembaga pendidikan, namun secara substantif,
sekolah demokratis adalah membawa semangat demokrasi tersebut dalam
perencanaan, pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah
sesuai dengan nilai-nilai Demokrasi Pancasila. Beane dan Apple (1995: 7) dalam
Rosyada (2004: 16) mengemukakan bahwa kondisi yang sangat perlu dikembangkan
dalam upaya membangun sekolah demokratis adalah sebagai berikut.
1.
Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima
informasi seoptimal mungkin.
2.
Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan
kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah.
3.
Menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian
evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan yang
dikeluarkan sekolah.
4.
Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap
persoalan-persoalan publik.
5.
Adakepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak
minoritas.
6.
Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan
demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa
membimbing keseluruhan hidup manusia.
7.
Terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan
mengembangkan cara-cara hidup demokratis
Ciri-ciri organisasi sekolah demokratis,
sebagaimana dituliskan Rosyada (2004: 228-289) dary buku karangan Tony Bush
(48-50) adalah sebagai berkut:
1.
Sangat beorientasi negatif, yakni bahwa manajemen harus didasarkan pada
kesepakatan, apapun progam yang hendak dikembangkan dan iimpementasikan harus
didasarkan pada kesepakatan, dan tidak hanya menjadi values tapi juga
sebagai sebuah keyakinan, bahwa model nilah yang terbaik.
2.
Pendekatan demokratis sangat layak untuk organisasi dengan para anggota
dari kalangan professional, yakni mereka yang memiliki kemampuan teknis dan
keterampilan, mereka memiliki otoritas dalam keahliannya. Organisasi sekolah
harus dikelola oleh kalangan-kalangan profesional karena siswa memerlukan
pembinaan dan pelayanan dari mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya.
3.
Penanaman nila, kultur dan kebiasaan-kebiasaan dalam organisasi
dilakukan oleh anggota organisasi itu sendiri, yang sudah dimulai sejak dalam
fase pendidikan dan tahun-tahun pertama mereka bekerja.
4.
Pengambilan putusan tentang berbagai kebijakan penting dilakukan oleh
sebuah komite dan tidak dilakukan secara individual oleh seorang kepala dengan
menggunakan otoritas kepimpinannya. Dan semua unsur memiliki wakil dalam komite
tersebut, yang harus mempertanggungjawabkan keterlibatannya dalam komite
terhadap konstituennya.
5.
Semua putusan ditetapkan dengan cara konsensus atau kompromi dan sedapat
mungkin dhindari polarisasi organisasi karena perbedaan pendapat dan pandangan.
Perbedaan dalam proses harus diakhiri dengan konsensus dan atau kompromi,
walaupun terkadang harus menghargai kecenderungan masyarakat.
Secara prinsip demokrasi tercipta karena adanya
saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Keadaan ini menciptakan
suasana kesetaraan tanpa sekat-sekat kesukuan, agama, derajat atau status
ekonomi. Dengan demikian manusia mempunyai ruang untuk mengekspresikan diri
secara bertanggung jawab. Situasi seperti inilah yang seharusnya dibangun dalam
dunia pendidikan, anak diajak untuk mengembangkan potensi diri.
2. Pengembangan Nilai-nilai Demokrasi di Sekolah
Membangun pribadi yang demokratis merupakan salah
satu fungsi pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam pasal 3 UU Nomor
20/2003 tentang Sisdiknas. Diperlukan upaya agar dunia pendidikan mampu
menaburkan benih-benih demokrasi kepada peserta didik dan melahirkan
demokrat-demokrat yang ulung, cerdas, dan andal. Beratnya beban kurikulum
yang harus dituntaskan telah membuat proses belajar mengajar menjadi kehilangan
ruang berdiskusi, berdialog dan berdebat, guru menjadi satu-satunya sumber
belajar. Akibatnya setelah lulus mereka menjadi asing di tengah-tengah rakyat.
Tidak mungkin out-put dari dunia pendidikan mampu menginternalisasi dan
mengapresiasi nilai-nilai demokrasi kalau otak dan emosi mereka dijauhkan dari
ruang berdialog. Mustahil mereka bisa menghargai pendapat sebagai salah satu
esensi demokrasi kalau iklim belajarnya berlangsung monoton. Sehingga dunia
pendidikan perlu diberi ruang yang cukup untuk membangun budaya demokrasi bagi
peserta didik, sehingga kelak mereka sanggup menjadi demokrat sejati yang
rendah hati, berjiwa besar, toleran, memiliki landasan etik moral dan
spiritual. Apalagi di era millennium ketiga yang kini diyakini akan
menghadirkan banyak perubahan global seiring dengan akselerasi keluar masuknya
berbagai kultur dan peradaban baru dari berbagai bangsa di dunia, ranah
demokrasi tentu akan menjadi penentu citra, kredibilitas, dan akseptibilitas
bangsa kita sebagai salah satu komunitas masyarakat dunia. Itu artinya, dunia
pendidikan dalam mencetak sumberdaya manusia yang bermutu dan profesional harus
menyiapkan generasi yang demokratis, sehingga memiliki resistence yang kokoh di
tengah-tengah konflik peradaban.
Selain pengembangan nilai-nilai demokrasi dalam
pembentukan mental peserta didik sesuai nilai-nilai demokrasi, demokrasi di
sekolah juga mencakup proses pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil
belajar. Hal ini diantaranya adalah untuk menyikapi persoalan yang tentunya
tekait dengan nilai-nilai demokrasi dalam hal ilmu pengetahuan, mengenai
industri saat ini yang sering menimbulkan pencemaran lingkungan. Banyak pihak
industri yang selalu berhadapan dengan kelompok-kelompok humanis yang anti
pencemaran dan pengrusakan lingkungan. sehingga pendidikan harus merancang
perubahan-perubahan ke depan yang tetap ditandai dengan kemajuan sains dan
teknologi, dengan peningkatan solidaritas internasional, dan keseimbangan
komitmen antara produktivitas, kemajuan sains dan teknologi, yang pada
gilirannya dapat mengembangkan sektor perekonomian, namun tetap memperhatikan
pemeliharaan lingkungan, dan misi kemanusiaan, sehingga mampu menetralisir
ketegangan-ketegangan sosial, dan mampu menjaga kelestarian alam yang tidak
semata menjadi kebutuhan seluruh umat manusia dengan keseimbangan ekosistemnya,
tapi juga akan diwariskan pada generasi mendatang.
3. Implementasi Pengembangan Nilai-nilai Demokrasi
dalam Proses Pembelajaran di Kelas
Kelas merupakan forum yang strategis bagi guru dan
murid untuk sama-sama belajar menegakkan pilar-pilar demokrasi. Prinsip
kebebasan berpendapat, kesamaan hak dan kewajiban, misalnya siswa dan guru
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjaga kebersihan kelas,
kenyamanan kelas, terlaksananya kegiatan belajar mengajar yang kondusif.
Tumbuhnya semangat persaudaraan antara siswa dan guru harus menjadi iklim
pembelajaran di kelas dalam mata pelajaran apapun. Interaksi guru dan siwa
bukan sebagai subjek-objek, melainkan subjek-subjek yang sama-sama membangun
karakter dan jatidiri. Profil guru yang demokratis tidak bisa terwujud dengan
sendirinya tetapi membutuhkan proses pembelajaran. Kelas merupakan forum yang
strategis bagi guru dan murid untuk sama-sama belajar menegakkan pilar-pilar
demokrasi.
Bapak pendidikanIndonesia, Ki Hajar Dewantara
mewariskan semangat “ing madya mangun karsa” yang intinya berporos pada proses
pemberdayaan. Di sekolah guru senantiasa membangkitkan semangat bereksplorasi,
berkreasi dan berprakarsa di kalangan siwa agar kelak tidak menjadi
manusia-manusia yang hanya tunduk pada komando. Dengan cara demikian, kelas
akan menjadi magnet demokrasi yang mampu menggerakkan gairah siswa untuk
menginternalisasi nilai-nilai demokrasi dan keluhuran budi secara riil dalam
kehidupan sehari-hari.
4. Peran Guru
Implementasi pengembangan nilai-nilai demokrasi
dalam proses pembelajaran di kelas tentu tidak lepas dari peran guru.
Terpenuhinya misi pendidikan sangat tergantung pada kemampuan guru untuk
menanamkan seting demokrasi pada siswa, dengan memberikan kesempatan
seluas-luasnya pada siswa untuk belajar. Menciptakan suasana yang hangat
di sekolah sehingga menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk semaksimal
mungkin mereka belajar. Rosyada dalam bukunya Paradigma Pendidikan Demokratis
(2004: 19) menyatakan bahwa sekolah bukan menjadi tempat pertunjukan bagi guru
tetapi tempat bagi siswa untuk menambah dan memperkaya pengalaman belajarnya.
Oleh sebab itu, guru harus mampu mengembangkan strategi pembelajaran yang
memberi peluang bagi siswa untuk belajar. Inilah makna lain dari sekolah
demokratis, yaitu sekolah itu untuk siswa bukan untuk guru dan kepala
sekolahnya. Sekolah harus menjadi second home bagi siswa, mereka betah
menghabiskan waktunya di sekolah, dengan belajar, berdiskusi, menyelesaikan
tugas-tugas kelompok, membaca, dan melakukan aktivitas lainnya.
Untuk mewujudkan KBM yang kondusif secara umum guru
harus memiliki capability dan loyality, yakni guru itu harus
memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, memiliki kemampuan
teoritik tentang mengajar yang baik, dari mulai perencanaan, implementasi,
sampai evaluasi. Memiliki loyalitas keguruan, yakni loyal terhadap tugas-tugas
keguruan yang tidak hanya di dalam kelas. Seperti yang telah dikutip oleh
Rosyada (2004: 113), dari Gilbert H. Hunt dalam bukunya Effective Teaching menyatakan
bahwa guru yang baik itu harus memenuhi tujuh kriteria yaitu:
a. Sifat; guru yang baik harus memiliki sifat-sifat
antusias, stimulatif, mendorong siswa untuk maju, hangat, berorientasi pada
tugas dan pekerja keras, toleran, sopan, dan bijaksana, bisa dipercaya/
fleksibel dan mudah menyesuaikan diri/ demokratis, penuh harapan bagi siswa,
tidak semata mencari reputasi pribadi, mampu mengatasi stereotipe siswa,
bertanggung jawab terhadap kegiatan belajar siswa, mampu menyampaikan
perasaannya, dan memiliki pendengaran yang baik.
b. Pengetahuan; guru yang baik juga memiliki
pengetahuan yang memadai dalam mata pelajaran yang diampunya, dan terus
mengikuti kemajuan dalam bidang ilmunya itu.
c. Apa yang disampaikan; guru yang baik juga mampu
memberikan jaminan bahwa materi yang disampaikannya mencakup semua unit bahasan
yang diharapkan siswa secara maksimal.
d. Bagaimana Mengajar; guru yang baik mampu
menjelaskan berbagai informasi secara jelas, dan terang, memberikan layanan
yang variatif, menciptakan dan memelihara momentum, menggunakan kelompok kecil
secara efektif, mendorong semua siswa untuk berpartisipasi, memonitor dan
bahkan sering mendatangi siswa, memonitor tempat duduk siswa, melibatkan siswa
dalam tutorial atau pengajaran sebaya, menghindari kesukaran yang kompleks
dengan menyederhanakan sajian informasi, menggunakan beberapa bahan
tradisional, menunjukkan pada siswa tentang pentingnya bahan-bahan yang mereka
pelajari, menunjukkan proses berpikir yang penting untuk belajar/
berpartisipasi dan mampu memberikan perbaikan terhadap kesalahan konsepsi yang
dilakukan siswa.
e. Harapan; guru yang baik mampu memberikan harapan
pada siswa, mampu membuat siswa akuntabel, dan mendorong partisipasi orang tua
dalam memajukan kemampuan akademik siswanya.
f. Reaksi guru terhadap siswa; guru yang baik biasa
menerima berbagai masukan, risiko, dan tantangan, selalu memberikan dukungan
pada siswanya, konsisten dalam kesepakatan-kesepakatan dengan siswa, bijaksana
terhadap kritik siswa, menyesuaikan diri dengan kemajuan-kemajuan siswa,
pengajaran yang memperhatikan individu, mampu memberikan jaminan atas
kesetaraan partisipasi siswa, mampu menyediakan waktu yang pantas untuk siswa
bertanya, cepat dalam memberikan feed back bagi siswa dalam membantu
mereka belajar, peduli dan sensitif terhadap perbedaan-perbedaan latar belakang
sosial ekonomi dan kultur siswa, dan menyesuaikannya pada kebijakan-kebijakan
menghadapi berbagai perbedaan.
g. Management; Guru yang baik juga harus mampu
menunjukkan keahlian dalam perencanaan, memiliki kemampuan mengorganisasi kelas
sejak hari pertama dia bertugas, cepat memulai kelas, melewati masa transisi
dengan baik, memiliki kemampuan dalam mengatasi dua atau lebih aktivitas kelas
dalam satu waktu yang sama, mampu memelihara waktu bekerja serta menggunakannya
secara efisien dan konsisten, dapat meminimalisasi gangguan, dapat menerima
suasana kelas yang ribut dengan kegiatan pembelajaran, memiliki teknik untuk
mengontrol kelas, memberi hukuman dengan bentuk yang paling ringan, dapat
memelihara suasana tenang dalam belajar, dan tetap dapat menjaga siswa untuk
tetap belajar menuju sukses.
Guru sebaiknya juga
menggunakan model active learning atau belajar aktif, yaitu model
pembelajaran yang memberi peluang sangat luas bagi siswa untuk belajar dengan
mengurangi porsi guru untuk ceramah. Guru harus dapat memberikan penugasan yang
bermakna bagi siswa, baik untuk diskusi, penyelasaian tugas, menyelasaikan
masalah atau lainnya. Serta model cooperate learning (belajar secara
kooperatif yang tidak hanya belajar bersama, namun saling membantu) melalui
diskusi dalam kelompok-kelompok kecil, debat atau bermain peran. Biarkan siswa
saling membantu satu sama lain serta saling bertukar informasi yang mereka
dapatkan dari hasil akses informasinya. Melalui sebuah diskusi akan terpupuk
nilai-nilai demokrasi karena pelaksanaan diskusi sangat memungkinkan siswa
berinteraksi dengan siswa yang lain, belajar mengemukakan pendapatnya,
menghargai setiap pendapat dan tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain.
Selain itu guru juga harus dapat membantu siswa
befikir. Siswa perlu diajak kritis terhadap bahan pelajaran dan juga masalah
yang dihadapi. Pikiran kritis ini sangat penting adlam membangun suasana
demokratis di sekolah dan di masyarakat sekarang ini. Seperti yang dikutip
Suparno (36-37) dari Raths dalam bukunya Teaching for Thinking yang
memberikan beberapa cara konkrit yang dapat dibuat guru dalam membantu siswa
berfikir kritis antara lain:
a. Guru hendaklah mendengarkan gagasan dan
pemikiran siswa
b. Guru memajukan diskusi terbuka dimana siswa
bebas mengungkapkan pikirannya
c. Guru perlu memberikan waktu bagi siswa untuk
berfikir terlebih dahulu, apalagi bila mengajukan pertanyaan kepada siswa
d. Guru memnupuk keyakinan sswa untuk berani tampil
dengan gagasannya yang otentik
e. Guru perlu memberikan umpan balik yang memajukan
pemikiran siswa, bukan yang mematikan
f. Ruang majalah dinding yang dapat diisi dengan
macam-macam gagasan siswa perlu dibuat
g. Siswa diberi kebebasan untuk mencari data dan
masukan dari sumber-sumber lain seperti perpustakaan atau internet.
Kadang ada guru yang merasa rugi bila memberikan
waktu berfkir bagi siswa karena akan memperlambat penyelesaian bahan. Memang
secara sepintas sepertinya guru kehilangan banyak waktu, tetapi sebenarnya guru
untung besar. Karena dengan membiasakan siswa berfikir dan memperoleh informasi
sendiri, mereka selanjutnya mereka akan dapat belajar sendiri tanpa harus
dipaksa oleh guru. Apalgi pemikiran-pemikiran kritis mereka yang dikembangkan
itu dikemudian hari akan menjadi pemikiran dan kreativitas yang besar.
Dalam menginternalisasikan nilai-nilai demokrasi
guru dapat menjadi sosok pemodelan, dimana segala perilakunya dapat menjadi
tauladan bagi siswa dalam pembentukan karakter demokratis dalam dirinya. Jika
dalam KBM di dalam kelas tidak beriklimkan demokrasi, maka dalam diri siswa
tidak akan tertanam sikap-sikap yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi.
5. Peran Kurikulum (Mata Pelajaran)
Selain itu internalisasi nilai-nilai demokrasi
dapat disisipkan dalam kegiatan KBM misalnya pada mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (PKN) dan juga tidak menutup kemungkinan menanamkan materi
demokrasi pada mata pelajaran yang lain. Contohnya, SAINS dengan memberikan
pegetahuan berbasis lingkungan, sehingga tertanam sikap kecintaan terhadap
alam. Praktek pembelajaran dilakukan dengan materi yang substansial (konsep teori
yang sangat selektif) tetapi kaya dalam implementasi.
Sekolah sebagai lembaga
pendidikan memiliki peran yang utama dalam membentuk karakter dan penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi peserta didik. Oleh karena itu, sekolah harus
menampilkan budaya demokratis dalam pengelolaan pendidikannya. Syarat sebagai
negara demokrasi adalah dilaksanakannya pendidikan kewarganegaraan, karena mata
pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKN) merupakan materi yang diajarkan di
sekolah.
Pendidikan Kewarganegaraan itu sendiri
memiliki tujuan untuk mewujudkan warga negara yang baik (to be good
citizenship). Warga negara yang baik adalah warga negara yang melaksanakan
hak dan kewajibannya serta mewujudkan budaya demokrasi dalam berbagai segi
kehidupan. Di Sekolah, pembentukan dan penerapan budaya demokrasi tidak hanya
melalui pendidikan kewarganegaraan, tetapi dapat juga dilaksanakan dalam
kegiatan positif lainnya, antara lain sebagai berikut:
a.
Memilih Ketua
OSIS
Pemilihan
ketua OSIS dapat melibatkan seluruh siswa dengan pemilihan secara langsung.
Kampanye pemilu pun dapat dilaksanakan dengan berbagai cara. Pemilihan ketua
OSIS secara langsung dapat mendorong siswa untuk memahami praktik pemilu
sebenarnya sebagai bagian dari budaya demokrasi.
b.
Menentukan Ketua
Kelas, Menyusun Piket, dan Tata Tertib
Penentuan
ketua kelas dilaksanakan dengan kegiatan musyawarah kelas. Setiap siswa
memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam musyawarah kelas. Setelah ketua
kelas terpilih dan tata tertib kelas dibuat, semuanya memiliki kewajiban untuk
menaati peraturan di dalam kelas.
c.
Memberikan
Kesempatan Belajar dengan Baik kepada Semua Siswa
Situasi
yang tenang dan kondusif dalam belajar mendororng berhasilnya belajar siswa.
Situasi tersebut dapat tercipta jika kita memberikan kesempatan kepada orang
lain untuk belajar. Budaya demokrasi juga dapat ditunjukkan dengan sikap guru
yang demokratis terhadap semua muridnya. Misalnya, guru memberi kesempatan
kepada siswa untuk mengemukakan pendapat dan mau mendengarkan pendapat para
siswanya tersebut.
D. Potret
Budaya Demokrasi di Sekolah Saat Ini
Potret penerapan
budaya demokrasi di lingkungan sekolah, antara lain adalah sebagai berikut.
a) Menaati peraturan
disiplin sekolah,
b) Menerima dengan ikhlas
hasil kesepakatan,
c) Menghargai pendapat
teman lain meskipun pendapat itu berbeda dengan kita,
d) Bersedia untuk bergaul
dengan teman sekolah tanpa diskriminasi,
e) Melibatkan diri dalam
upaya memecahkan persoalan bersama,
f) Menerima teman yang
berbeda latar belakang suku, budaya, ras, dan agama
g) Mengutamakan
musyawarah, membuat kesepakatan untuk menyelesaikan masalah. [4]
KESIMPULAN
A. Pengertian
Budaya Demokrasi
Budaya berasal dari kata budi (akal) dan daya
(kemampuan) yang berarti kemampuan akal manusia. Sedangkan demokrasi berasal
dari demos dan kratos yang artinya rakyat dan pemerintahan. Jadi, budaya demokrasi adalah kemampuan manusia yang
berupa sikap dan kegiatan yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi seperti
menghargai persamaan, kebebasan, dan peraturan. Budaya demokrasi juga dapat
dikatakan sebagai bentuk aplikasi atau penerapan nilai-nilai yang terkandung
dalam prinsip demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, tercerminlah
prinsip-prinsip demokrasi dalam budaya demokrasi.
B. Prinsip-Prinsip Budaya Demokrasi
1. menjunjung prinsip HAM
2. transparansi
3. partisipasi
4. pluralitas
5. egaliter
C. Sekolah
Sebagai Lembaga Demokrasi
1. Tujuan
Pelaksanaan Demokrasi di Sekolah
Tujuannya
yaitu mendidik anak-anak dan mengantarkan mereka menuju fase kedewasaan, agar
mereka mandiri baik secara psikologis, biologis, maupun sosial.
2. Pengembangan Nilai-nilai Demokrasi di Sekolah
Selain
pengembangan nilai-nilai demokrasi dalam pembentukan mental peserta didik
sesuai nilai-nilai demokrasi, demokrasi di sekolah juga mencakup proses
pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil belajar. Hal ini diantaranya
adalah untuk menyikapi persoalan yang tentunya tekait dengan nilai-nilai
demokrasi dalam hal ilmu pengetahuan, mengenai industri saat ini yang sering
menimbulkan pencemaran lingkungan
3. Implementasi Pengembangan Nilai-nilai Demokrasi
dalam Proses Pembelajaran di Kelas
Kelas
merupakan forum yang strategis bagi guru dan murid untuk sama-sama belajar
menegakkan pilar-pilar demokrasi. Prinsip kebebasan berpendapat, kesamaan hak
dan kewajiban, misalnya siswa dan guru mempunyai hak dan kewajiban yang sama
dalam menjaga kebersihan kelas, kenyamanan kelas, terlaksananya kegiatan
belajar mengajar yang kondusif. Tumbuhnya semangat persaudaraan antara siswa
dan guru harus menjadi iklim pembelajaran di kelas dalam mata pelajaran apapun.
Interaksi guru dan siwa bukan sebagai subjek-objek, melainkan subjek-subjek yang
sama-sama membangun karakter dan jatidiri. Profil guru yang demokratis tidak
bisa terwujud dengan sendirinya tetapi membutuhkan proses pembelajaran. Kelas
merupakan forum yang strategis bagi guru dan murid untuk sama-sama belajar
menegakkan pilar-pilar demokrasi
4. Peran Guru
Dalam menginternalisasikan nilai-nilai demokrasi
guru dapat menjadi sosok pemodelan, dimana segala perilakunya dapat menjadi
tauladan bagi siswa dalam pembentukan karakter demokratis dalam dirinya. Jika
dalam KBM di dalam kelas tidak beriklimkan demokrasi, maka dalam diri siswa
tidak akan tertanam sikap-sikap yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi.
5. Peran Kurikulum (Mata Pelajaran)
Internalisasi
nilai-nilai demokrasi dapat disisipkan dalam kegiatan KBM misalnya pada mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) dan juga tidak menutup kemungkinan
menanamkan materi demokrasi pada mata pelajaran yang lain. Contohnya, SAINS
dengan memberikan pegetahuan berbasis lingkungan, sehingga tertanam sikap
kecintaan terhadap alam. Praktek pembelajaran dilakukan dengan materi yang
substansial (konsep teori yang sangat selektif) tetapi kaya dalam implementasi
D. Potret
Budaya Demokrasi di Sekolah Saat Ini
Potret penerapan
budaya demokrasi di lingkungan sekolah, antara lain adalah sebagai berikut.
a) Menaati peraturan
disiplin sekolah,
b) Menerima dengan ikhlas
hasil kesepakatan,
c) Menghargai pendapat
teman lain meskipun pendapat itu berbeda dengan kita,
d) Bersedia untuk bergaul
dengan teman sekolah tanpa diskriminasi,
e) Melibatkan diri dalam
upaya memecahkan persoalan bersama,
f) Menerima teman yang
berbeda latar belakang suku, budaya, ras, dan agama
g) Mengutamakan
musyawarah, membuat kesepakatan untuk menyelesaikan masalah.
[2]
Aim Abdulkarim, Pendidikan kewarganegaraan
untuk kelas XI sekolah menengah atas, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
2006)
0 komentar:
Posting Komentar